Laman

Senin, 25 April 2011

Contoh Kasus Legitimasi : Pemerintahan Gus Dur Butuh Legitimasi Moral


Pemerintahan Gus Dur Butuh Legitimasi Moral
Posted by admin on June 8, 2000 | Siaran Pers
Siaran Pers : Masyarakat Transparansi Indonesia
Jakarta, 8 Juni 2000


Penegakan Good Governance Masih Jauh Dari Harapan
Secara keseluruhan pemerintahan baru memiliki kecenderungan kurang mampu menegakkan pemerintahan yang bersih.
Cita-cita untuk membangun good governance masih jauh dari harapan. Demi menjalankan kepemimpinannya secara efektif, legitimasi politik Presiden Abdurrahman Wahid harus didukung dengan legitimasi moral


Tujuh bulan sejak pembentukannya, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid belum menunjukkan tanda-tanda ke arah tegaknya good governance. "Lambannya penanganan kasus-kasus korupsi berskala besar, lemahnya koordinasi antar instansi, dan munculnya sejumlah kasus kontroversial bernuansa korupsi menunjukkan belum efektifnya pemerintahan Gus Dur dalam membangun landasan pemerintahan yang bersih", demikian evaluasi Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dituangkan dalam buku tahunan berjudul "Membangun Pondasi Good Governance di Masa Transisi".

Evaluasi terhadap proses penegakan good governance akan dilakukan MTI setiap tahun berdasarkan parameter tertentu dengan metode yang akan disempurnakan terus menerus. Berdasarkan parameter tersebut, MTI mengidentifikasi sejumlah indikasi dari praktik pemerintahan yang baik (good governance) antara lain:
  • Konsultasi antara eksekutif dengan legislatif
  • Komunikasi elite politik dan masyarakat yang semakin egaliter
  • Pembebasan tahanan politik dan narapidana politik
  • Transparansi hasil audit BUMN besar
  • Dibentuknya Komisi Hukum Nasional
  • Rencana pembenahan lembaga peradilan
  • Percepatan langkah-langkah ke arah otonomi daerah
Di pihak lain, terdapat pula indikasi dari praktik-praktik pemerintahan yang buruk (bad governance) yaitu:
  • Lambannya penanganan kasus-kasus korupsi (berskala besar)
  • Lemahnya koordinasi antar Menteri/instansi
  • Politisasi penunjukkan pejabat publik dan pejabat BUMN
  • Inkonsistensi pernyataan pejabat/kontroversi pernyataan Presiden
  • Likuidasi departemen/instansi yang tidak terencana dengan baik
  • Lambannya penanganan konflik sosial
  • Munculnya kasus baru bernuansa korupsi di lingkaran kekuasaan
Berdasarkan tinjauan terhadap indikasi-indikasi yang ada, MTI berpendapat bahwa secara keseluruhan pemerintahan yang baru memiliki kecenderungan KURANG MAMPU menegakkan good governance. "Dengan mengambil contoh-contoh yang ada…penegakan good governance masih jauh dari harapan," tandas Mar’ie Muhammad, Ketua Dewan Pengurus MTI.

Masyarakat kini menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian. Upaya pemberantasan korupsi ternyata lebih bernuansa politis daripada keseriusan untuk menegakkan hukum tanpa sikap diskriminasi. Kasus-kasus lama penyalahgunaan aset negara belum lagi tuntas diselesaikan, seperti penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, korupsi di lingkungan Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara, atau skandal Bank Bali dan Komisi Pemilihan Umum.

Kasus-kasus baru yang lebih mencemaskan mulai bermunculan, ditandai dengan terbongkarnya penyelewengan dana milik Yayasan Bina Sejahtera Bulog yang — secara langsung atau tidak langsung – telah mencemari lingkaran inti kekuasaan. Dampak buruk kasus itu telah meruntuhkan kembali kepercayaan masyarakat domestik dan internasional yang mulai pulih. Betapa tragis, di era reformasi terbukti korupsi masih berjalan sebagaimana lazimnya, business as usual.

Mayoritas masyarakat mengkhawatirkan langkah yang ditempuh Jaksa Agung selaku salah satu pilar penegak hukum. Dalam menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum maupun korupsi, terbaca dengan jelas bahwa Jaksa Agung cenderung mencari kompromi politik, bukannya memberikan solusi hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Sebagai contoh, penetapan status tersangka atas Gubernur Bank Indonesia dalam kasus Bank Bali diwarnai upaya intervensi lembaga eksekutif, dan prosesnya penuh dengan nuansa tawar-menawar. Begitupun penerbitan SP3 untuk kasus Texmaco sangat kental nuansa politisnya.

Sudah barangtentu publik mengetahui seluk-beluk penyimpangan wewenang secara terbuka, meskipun penafsirannya bisa berbeda-beda. Para pejabat yang diduga terlibat telah menyampaikan pembelaan masing-masing. Namun kesadaran untuk mengungkap informasi kebijakan (transparency) tak diiringi kesediaan untuk mempertanggungjawabkan (accountability) segala kelemahan dan penyimpangan. Keinginan untuk membongkar kinerja (disclosure) tidak diikuti kepekaan menangkap aspirasi masyarakat (responsibility). Akibatnya, asas tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) seperti dilecehkan.

Dengan segenap keprihatinan, MTI mengimbau agar para pejabat penting lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif senantiasa berpegang teguh pada aturan hukum yang berlaku (rule of law). Kemudian setiap kebijakan dan keputusan diterapkan secara wajar dan adil (fairness). Penegakan good governance memang membutuhkan kepemimpinan yang tegas dan mengabdi pada kepentingan umum, bukan sikap yang menggampangkan masalah serta permainan logika dan kata-kata.

Sikap tegas, tidak memihak, dan selalu menjunjung tinggi supremasi hukum kiranya merupakan sumber legitimasi moral. Dalam hubungan ini, untuk menjalankan kepemimpinannya secara efektif, Presiden Abdurrahman membutuhkan legitimasi moral, disamping legitimasi politik yang telah diperolehnya.
Badan Pengurus
Masyarakat Transparansi Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar